Hasanuddin HM, Pahlawan Ampera Banjarmasin
Tak
Ada Pilihan Lain, Menjadi
Bangsa
Indonesia atau Bangsa Asing
(Banjarmasin,
10 Pebruari 1966)
------------------------
AKSI
tiga tuntutan rakyat atau Tritura, memang sebulan lebih lambat terjadinya dari
Jakarta. Namun cerita heroisme kaum muda terutama mahasiswa dan pelajar, juga
terjadi di Banjarmasin pada Pebruari tahun 1966. Dan inilah demonstrasi
terbesar Banua yang terjadi pada masa
rezim orde lama Presiden Soekarno.
Secara
umum ada 3 tuntutan yang diperjuangkan. Pertama; turunkan harga barang. Kedua;
Bubarkan PKI. Dan ketiga; bersihkan
kabinet dari antek-antek komunis. Secara khusus di Banjarmasin, justru ada 2
tuntutan tambahan yakni stabilkan harga dan adili para tengkulak (cukong
sembako). Mengapa?
“Karena saat itu perekonomian di Banjarmasin sangat menyedihkan. Di mana-mana
orang antre beli
beras, gula dan minyak tanah. Harga sembako pagi sekian, sorenya bisa naik 300 persen. Bahkan tingkat inflasi sangat tinggi mencapai 600 persen, “ papar Yusriansyah Aziz, eskponen 66 --sekarang ekonom Unlam. Lumpuhnya sektor perekonomian, merembet ke situasi politik yang disusupi Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (PKI) di Banjarmasin. Sejumlah pentolan aktivis 66, melihat indikasi ini terekam dari Siaran Radio Swasta Viking Hsinhua di Pecinan (sekarang Jl.Pierre Tendean-seberang Siring Sabilal). “Hampir setiap hari, radio ini menyuarakan cerita propaganda dengan paham komunis. Di malam hari, mereka kerap menggelar pertunjukkan teater dan nyanyian-nyanyian untuk menghimpun massa,” kata Yusriansyah Aziz, dosen ekonomi Unlam. Kebijakan pemerintah yang mendua dengan melegalitaskan, status kewarnegaraan Indonesia dan Cina kala itu, juga mengumbar kecemburuan warga sipil. Kecurigaan aktivis angkatan 66 Banjarmasin pun memuncak terhadap eksistensi Gerakan 30 S/PKI di Banua, setelah Ketua Partai Komunis wilayah Kalsel, Aman Hanafiah mendesak Panglima Amir Mahmud, agar masuk Dewan Revolusi, bentukan Kolonel Untung. Di internal Kampus Unlam, keberadaan organisasi mahasiswa juga “diadu-asah.” Dari isu aktivis KAMI yang dituding anti revolusi, hingga penolakan mahasiswa terhadap Gerakan Komunis yang tidak disambut baik pemerintah. Akumulasi rentetan peristiwa ini, membuat mahasiswa dan pelajar tak ada pilihan selain turun ke jalan. 10 Pebruari 1966, seluruh kekuatan rakyat di Banjarmasin berkumpul di lapangan kantor gubernur –sekarang kawasan Sabilal Muhtadin. “Jumlahnya ada sekitar 15 ribuan orang saat itu. Mereka berasal dari sekitar 16 organisasi mahasiswa, pelajar dan kemasyarakatan, kecuali GMNI yang tidak ikut,” kata Yusriansyah Aziz, salah satu aktor demonstran. (*)
beras, gula dan minyak tanah. Harga sembako pagi sekian, sorenya bisa naik 300 persen. Bahkan tingkat inflasi sangat tinggi mencapai 600 persen, “ papar Yusriansyah Aziz, eskponen 66 --sekarang ekonom Unlam. Lumpuhnya sektor perekonomian, merembet ke situasi politik yang disusupi Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (PKI) di Banjarmasin. Sejumlah pentolan aktivis 66, melihat indikasi ini terekam dari Siaran Radio Swasta Viking Hsinhua di Pecinan (sekarang Jl.Pierre Tendean-seberang Siring Sabilal). “Hampir setiap hari, radio ini menyuarakan cerita propaganda dengan paham komunis. Di malam hari, mereka kerap menggelar pertunjukkan teater dan nyanyian-nyanyian untuk menghimpun massa,” kata Yusriansyah Aziz, dosen ekonomi Unlam. Kebijakan pemerintah yang mendua dengan melegalitaskan, status kewarnegaraan Indonesia dan Cina kala itu, juga mengumbar kecemburuan warga sipil. Kecurigaan aktivis angkatan 66 Banjarmasin pun memuncak terhadap eksistensi Gerakan 30 S/PKI di Banua, setelah Ketua Partai Komunis wilayah Kalsel, Aman Hanafiah mendesak Panglima Amir Mahmud, agar masuk Dewan Revolusi, bentukan Kolonel Untung. Di internal Kampus Unlam, keberadaan organisasi mahasiswa juga “diadu-asah.” Dari isu aktivis KAMI yang dituding anti revolusi, hingga penolakan mahasiswa terhadap Gerakan Komunis yang tidak disambut baik pemerintah. Akumulasi rentetan peristiwa ini, membuat mahasiswa dan pelajar tak ada pilihan selain turun ke jalan. 10 Pebruari 1966, seluruh kekuatan rakyat di Banjarmasin berkumpul di lapangan kantor gubernur –sekarang kawasan Sabilal Muhtadin. “Jumlahnya ada sekitar 15 ribuan orang saat itu. Mereka berasal dari sekitar 16 organisasi mahasiswa, pelajar dan kemasyarakatan, kecuali GMNI yang tidak ikut,” kata Yusriansyah Aziz, salah satu aktor demonstran. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar